Oleh: Hairatul Hasanah
Perkembangan teknologi yang begitu pesat, khususnya di ranah internet dan media sosial, telah membawa perubahan besar dalam pola kehidupan keluarga dan sistem pendidikan. Kemudahan akses informasi dari berbagai platform digital, di satu sisi membawa manfaat. Namun di sisi lain, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius: hilangnya peran orang tua dan guru sebagai figur teladan (role model) bagi anak dan remaja.
Dalam kehidupan keluarga, peran orang tua kini kian terpinggirkan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk membangun ikatan emosional, menanamkan nilai moral, dan membimbing perkembangan anak, sering kali tergantikan oleh kesibukan di depan layar. Ketergantungan terhadap gawai dan internet tidak hanya mengurangi intensitas interaksi langsung, tetapi juga membuka ruang bagi anak-anak untuk terpapar konten yang tidak mendidik serta pengaruh buruk dari pergaulan daring.
Orang tua yang tidak memahami perkembangan teknologi kerap kesulitan memantau perilaku anak di dunia maya. Akibatnya, terjadi benturan nilai antara yang ditanamkan di rumah dan yang diperoleh anak dari dunia digital. Kurangnya komunikasi terbuka dan keterbatasan pemahaman membuat posisi orang tua sebagai panutan semakin lemah. Bahkan, tak jarang anak merasa bebas menggunakan teknologi tanpa arahan, karena orang tua tidak mampu mengimbangi laju perkembangan digital.
Hal serupa juga terjadi di lingkungan pendidikan. Meskipun teknologi telah banyak digunakan dalam proses belajar mengajar, penggunaannya yang berlebihan justru menimbulkan jarak antara guru dan siswa. Interaksi langsung yang seharusnya menjadi media penanaman karakter dan nilai, perlahan terkikis. Ketika siswa lebih percaya pada jawaban dari internet atau kecerdasan buatan (AI) dibanding berdiskusi dengan guru, maka peran guru sebagai fasilitator berpikir dan pembimbing moral ikut melemah.
Guru yang gagap teknologi dan tidak mampu menjalin kedekatan personal di ruang digital akan kesulitan menjadi figur yang inspiratif. Padahal, interaksi langsung—baik di kelas maupun di luar pembelajaran—merupakan kesempatan emas bagi guru untuk mengenali tantangan yang dihadapi siswa dan menanamkan keteladanan secara nyata.
Hilangnya peran orang tua dan guru sebagai panutan berdampak signifikan terhadap perkembangan anak. Mereka menjadi lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan negatif, kehilangan pedoman moral, dan kerap mengalami kebingungan identitas. Tak jarang, hal ini bermuara pada perilaku menyimpang, rendahnya prestasi akademik, sulitnya membangun relasi sosial, hingga gangguan kesehatan mental.
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan sinergi kuat antara orang tua, guru, dan lembaga pendidikan. Orang tua perlu meningkatkan literasi digital, membatasi penggunaan gawai, dan menciptakan waktu berkualitas untuk berinteraksi dengan anak. Mereka juga perlu hadir sebagai teladan dalam penggunaan teknologi yang bijak dan bertanggung jawab.
Guru, di sisi lain, perlu mengasah kompetensi digital dan membangun hubungan yang lebih personal dengan peserta didik. Lembaga pendidikan juga harus mengambil peran aktif, menyediakan pelatihan teknologi bagi para guru serta mendorong metode pembelajaran yang inovatif dan berpusat pada siswa.
Kita harus selalu ingat bahwa teknologi adalah alat, bukan pengganti. Sehebat apa pun teknologi yang digunakan, ia tidak mampu menggantikan sosok nyata orang tua dan guru sebagai kompas moral dan teladan hidup bagi anak-anak kita.
*Penulis adalah Hairatul Hasanah, Mahasiswi PGMI STIT Aqidah Usymuni, Terate Pandian Sumenep.
0 Komentar