Dilema Kuli Tinta: Antara Idealisme, Ketidakadilan, dan Kenyataan Pahit Dunia Jurnalisme

Oleh: Iqbal Fuadi Hasbuna

NYATAT.com, Sumenep – Sebagai wartawan pemula, saya merasakan betapa getirnya kenyataan yang dihadapi oleh para jurnalis di Indonesia. Julukan “kuli tinta” yang dahulu mungkin terasa membanggakan, kini justru menyeret saya pada renungan penuh kecemasan. Terlebih ketika menyaksikan langsung kasus Miftah Faridl, mantan jurnalis CNN Indonesia yang mengungkap skandal pemotongan gaji dan pemecatan sepihak terhadap para wartawan oleh institusi media tempat ia pernah bekerja. Sebuah ironi, karena CNN Indonesia adalah salah satu media arus utama yang selama ini lantang menyuarakan keadilan, hak asasi manusia, dan prinsip demokrasi. Ketika lembaga semacam itu ternyata berlaku tidak adil kepada wartawannya sendiri, di mana lagi kita bisa berharap?

Rasa takut saya sebagai jurnalis pemula tak bisa ditutupi. Ketakutan itu bahkan sudah berada di ujung tanduk. Bukan semata karena ancaman kehilangan pekerjaan, tetapi karena saya mulai menyadari bahwa idealisme dan kenyataan seringkali tak sejalan. Dunia jurnalisme yang saya bayangkan sebagai ruang suci untuk kebenaran dan keberpihakan pada rakyat, ternyata tak jarang menjadi tempat di mana kepentingan pemilik modal dan kekuasaan justru mengatur narasi. Dokumenter “Cut to Cut” yang disutradarai langsung oleh Miftah Faridl menyentak kesadaran saya, membuka mata bahwa di balik gemerlap nama besar sebuah media, terdapat luka-luka dalam yang tersembunyi rapat.

Saya kemudian memandang ke kampung halaman saya sendiri, Sumenep, sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Madura yang dikenal sebagai Kota Keris. Di sini, dinamika jurnalisme memiliki wajah yang berbeda, namun tak kalah rumit. Jika di pusat, masalahnya adalah sistem yang memeras tenaga jurnalis dengan bayaran minim dan ancaman pemecatan, maka di daerah seperti Sumenep, masalahnya seringkali lebih personal—lebih kelam. Saya berani menyebut banyak jurnalis di Sumenep sebagai “jurnalis munafik”. Kalimat ini tentu berat, tetapi saya mengucapkannya dengan kesadaran penuh dan pengalaman yang tak sedikit.

Banyak partner media yang justru menjadi pemain judi hebat. Tidak sedikit dari mereka yang bekerja di media-media besar lokal, namun terjerumus dalam lingkaran perjudian yang tak berujung. Bahkan, kabar yang beredar menyebutkan bahwa ada uang perusahaan media yang dijadikan modal untuk bermain judi. Ironis bukan? Mereka yang setiap hari menyuarakan kebenaran, mempublikasikan berita tentang keadilan dan hukum, justru melanggar hukum itu sendiri secara terang-terangan.

Pertanyaan kecil tapi menggelitik pun muncul di benak saya: bagaimana mungkin kita, para jurnalis, bisa mengkritik pemerintah—yang kerap kita sebut “Plat M”—kalau kita sendiri melakukan pelanggaran hukum? Bagaimana mungkin suara kita bisa dipercaya oleh publik jika integritas pribadi kita diragukan?

Praktik-praktik menyimpang di kalangan jurnalis lokal ini seringkali tak terlihat oleh publik. Namun bagi kami yang berada di dalam, semua itu menjadi rahasia umum. Ada wartawan yang berbulan-bulan tidak digaji, hingga harus numpang hidup ke media lain, hidup dari utang ke utang, dan terpaksa menulis berita hanya demi mengisi ruang kosongnya, dan berharap segera mendapatkan upah hasil kerja. Ironisnya, pemilik media tempat mereka bekerja justru hidup dalam kemewahan dan gemerlap perjudian.

Dalam kondisi seperti ini, idealisme yang selama ini diagung-agungkan sebagai fondasi utama profesi jurnalis menjadi barang mewah. Tidak semua wartawan mampu bertahan di tengah tekanan ekonomi dan sistem yang korup. Maka tak heran jika banyak jurnalis akhirnya memilih “jalan pintas”: menjadi humas terselubung bagi pejabat, menerima uang sogokan, atau menulis berita pesanan yang jauh dari semangat objektivitas.

Saya tak sedang menyamaratakan semua jurnalis. Masih banyak kawan-kawan saya yang berjuang dengan tulus dan idealisme tinggi, meski hidup dalam serba keterbatasan. Namun realitas yang saya lihat setiap hari sungguh memprihatinkan. Terutama di daerah-daerah, di mana sistem pengawasan longgar dan kekuatan pemodal begitu dominan. Wartawan menjadi sangat rentan, bukan hanya terhadap tekanan dari luar, tetapi juga terhadap godaan dari dalam dirinya sendiri.

Di sinilah relevansi kisah Miftah Faridl dan dokumenter “Cut to Cut” terasa sangat kuat. Ia bukan hanya berbicara soal masalah di CNN Indonesia, tetapi tentang kondisi struktural yang membuat wartawan rentan dieksploitasi. Tentang bagaimana jurnalisme bisa dikerdilkan menjadi sekadar alat, bukan lagi misi mulia. Apa yang terjadi di CNN Indonesia sangat mungkin, bahkan sangat dekat untuk terjadi di tempat-tempat lain seperti Sumenep.

Apakah dinamika yang terjadi di CNN Indonesia akan terjadi juga di Sumenep?

Saya hanya bisa berharap tidak. Tapi harapan saja tidak cukup. Harus ada upaya sistematis untuk membangun kesadaran baru di kalangan jurnalis, terutama jurnalis muda. Kami tidak bisa hanya mengandalkan partner yang telah larut dalam sistem rusak. Kami harus belajar dari kasus-kasus seperti ini untuk memperkuat tekad dan memperjuangkan jurnalisme yang sehat, adil, dan manusiawi.

Perlu adanya pembenahan dari dalam. Organisasi profesi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan lainnya harus lebih aktif turun ke daerah, memberikan pelatihan, advokasi, serta membuka ruang pengaduan yang aman bagi jurnalis korban eksploitasi. Perlu juga ada tekanan kepada perusahaan media untuk menjamin hak-hak pekerja pers secara adil dan transparan.

Lebih dari itu, pembenahan juga harus dilakukan pada sistem pendidikan jurnalistik. Para calon jurnalis tidak cukup hanya diajarkan soal teknik menulis berita atau liputan investigasi. Mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi realitas kerja yang keras, termasuk ancaman eksploitasi dan tekanan dari pemodal. Harus ada ruang refleksi dalam kurikulum jurnalistik, agar mereka masuk ke dunia pers bukan dengan mimpi kosong, tetapi dengan bekal mental dan etika yang kuat.

Dan untuk para jurnalis yang sudah terjun ke dunia ini, kita harus terus-menerus bertanya: untuk siapa kita menulis? Apa yang kita perjuangkan? Apakah kita masih jujur pada nurani kita sendiri? Jika kita tidak lagi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan yakin, maka barangkali saatnya kita berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan memikirkan ulang jalan yang kita tempuh.

Saya tahu menjadi wartawan bukan perkara mudah. Apalagi di tengah ekonomi yang serba sulit dan sistem kerja yang eksploitatif. Tapi jika kita menyerah begitu saja, jika kita membiarkan idealisme mati perlahan, maka kita bukan lagi bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri. Maka dari itu, perjuangan ini harus terus dilanjutkan, sekecil apa pun langkahnya.

Sebagai wartawan muda, saya masih belajar. Masih banyak yang belum saya pahami. Namun satu hal yang saya yakini, adalah bahwa jurnalisme yang baik tidak lahir dari sistem yang buruk. Kita harus memperbaiki ekosistem ini, mulai dari diri sendiri, lalu bersama-sama membangun solidaritas. Karena tanpa solidaritas, kita hanya akan menjadi individu-individu yang mudah dipatahkan.

Miftah Faridl telah memulai langkahnya dengan berani. Kini giliran kita yang melanjutkan. Kita tidak bisa terus berlindung di balik idealisme semu. Dunia jurnalisme membutuhkan keberanian untuk berubah, dan perubahan itu harus dimulai dari sekarang.

—Salam hormat dari Kuli Tinta Muda.


Jurnalis Indonesia | Idealisme Jurnalis | Independensi Jurnalis | Jurnalis Munafik | Jurnalis Muda | Eksploitasi | Dunia Jurnalistik


Posting Komentar

0 Komentar